GERIMIS MALAM…,

ini adalah salah satu karyaku yang termuat dalam buku “Senandung Rindu yang Karatan” terbitan Leutika Prio.,

selamat membaca…..

Gerimis Malam

Sang merah telah kembali cerah, merangkum asa yang lalu berbalut harapan di luasnya jagat rerumputan.angin berhuyung. Serentak membangunkan jiwa bersama kedua kakinya, berharap akan ada sekotak anugrah Tuhan untuknya.

“bagaimana aku bisa kembali kerumah, jika aku tak mendapatkan bunga serangkai, kau tahu San? Aku takkan pernah melihat indahnya gunung ini lagi”

“ jika begitu kau juga tak dapat menemuiku lagi Arif?”

“Santi, sungguh aku tak inginkan itu. Tapi jika kudapatkan bunga serangkaipun aku akan tetap meninggalkanmu!”

“ Aku lebih memilih tak melihatmu selamanya Arif, pergilah aku akan melupakanmu”

Sebuah langkah yang langsung yakin untuk menjauh dari tepian sungai, memilih menggendong bakulnya dengan pakaian yang belum sempat terkena bersihnya air.

“Santi, tunggulah sebentar akan kujelaskan, sepuluh tahun lagi aku akan kembali Santi, sungguh dengarkan aku dulu”

Dan perempuan itu telah jauh meninggalkan kakian pegunungan, persis tak tampak kini tubuhnya tinggal rumput bergoyang tanda tergeser langkah sang wanita.

Selanjutnya Arif kembali memanjat betuan demi bebatuan, mencari bunga serangkai yang akan mengantarkan dirinya merantau bersama mimpi-mimpinya. Meski sebuah asa akan ia titipkan sejenak pada hijaunya rerumputan, dan berniat mengambilnya lagi kelak. Semoga, ia benar-benar akan kembali.

###

“Bapak kan sudah bilang Bu, tak usah anakmu itu diijinkan pergi merantau. Kau kira dia akan hidup bahagia? Paling-paling di kota nanti hanya jadi tukang angkut barang, ya kalau tubuhnya besar. Wong badannya saja gering koyo sodo”

“Pak, kenapa bapak masih belum mau tau juga. Kita ini bukan orang kaya pak, maka….!”

“ makanya ga usah pakai merantau buat sekolah jauh-jauh ke kota, paling kalau sudah sarjana juga jadi pengangguran. Si Mamat anaknya pak harun udah  lulus, ya ga jadi sarjana yang bener malah metengi anake wong ya to?”

“ pak kita bukan orang sugih yang bisa kasih anak rumah atau tanah satu-satu, ya kita sekolahkan dia saja to Pak. Semoga kelak ilmunya manfaat. Cuma itu yang bisa kita lakukan pak…”

“Ibu dari dulu ngomongnya sama, ya sudah terserah Ibu. Kalau ada apa-apa Bapak ga mau tanggung jawab, dia mau merantau mau kawin mau ngapain terserah, bapak gak mau kasih uang”

Jeduar,,,pintu kayu telah bergesek paksa dengan tembok yang sudah retak, bukan karena gempa atau bencana alam lain tapi karena lelaki setengah baya itu lebih suka membanting dan membuka paksa penutup rumah itu.

“Assalamu’alaikum….”

“Wa’alaikum salam, Nang…dah balik kamu nang?”

“ya bue, bapak kenapa Bu?, keluar rumah sambil melengos. Marah lagi sama Bue?”

“ga papa nang, bapakmu memang begitu..eh..ayo makan dulu nang sudah ibu masakkan!”

“nggih Bue”

###

“maafkan Arif bue, kalo akhirnya Arif harus ninggalin Bue…”

“gak papa nang, doa Bue selalu bersama langkahmu yang baik nang, asal jaga diri disana, jaga sholat ya…jangan lupa kasih kabar”

“sudah sana berangkat mumpung pak kismo belum berangkat ngantar sayur ke kota, hati-hati di perantauan Nang. Ibu akan selalu mendoakanmu, pulanglah kapanpun kau mau nang. Pintu rumah selalu terbuka untukmu”

“arif akan pulang dengan keberhasilan Arif bue”

Dipeluknya wanita tercintanya, di usap peluh dan tangis dipipinya. Tak ingin lepas kiranya, namun ia laki-laki yang tak akan menjadi dewasa jika ia tak pergi merantau. Biarlah kehijauan pepohonan kan ia tinggalkan, bersama pucuk rindu pada Bunda dan kampung halaman. Tak terkecuali doa yang ia panjatkan agar sang ayah akan berubah.

Sebelum menaiki mobil, dilihatnya lagi perempuan yang berderai air mata. Di kuatkannya lagi hati yang terengkuh tangisan ibu. Ia berjanji kan kembali dengan keberhasilan.

###

Mobil pik-up berjalan cepat, bersaing dengan kawula tronton yang melaju pelan.

Perih sedang ditahan Arif, tak hilang pandangnya memandang bukit hijau yang kini mulai kecil kecil dan kecil. Bahkan dalam sekejap kini telah hilang. Masih terngiang di pelupuk matanay, senyum ibi yang berpeluh keringat usahanya. Ibu…sungguh ku menyayangimu, maafkan anak mu yang harus pergi.

“arif,,,ngalamun kowe?”

Pak kismo mengagetkan ku, sungguh laki-laki ini begitu baik padaku ia mau menerimaku tuk ikut bersamanya ke kota, meski tak sepeser uangpun ku bayarkan atas tumpangan yang telah ia berikan.

“ berapa jam lagi pak sampai Semarang?, tanyaku pada pak kismo

“ masih 2 jam Rif, tidurlah dulu kalau dah sampai terminal Terboyo tak bangunkan”

###

“sudah sampai pak kismo?” tanya anak lelaki yang terbangun dari tidurnya selama diperjalanan

“sudah nang, sampai pertigaan depan kau turun ya. Selanjutnya naik bis arah semarang kota nang. Bapak hanya sampai sini mengantarkanmu. Barang bawaan bapak harus sampai kudus hari ini”

“ya pak, tidak masalah. Makasih banyak pak sudah bantu saya”

“sampai kota hati-hati kau. Suatu saat nanti kalo sudah jadi orang jangan lupakan keluarga di rumah”

“insyaAlloh pak, kalau pulang besok sampaikan pada Ibu aku selamat sampai semarang pak”

“ya nang, sekarang turunlah mumpung lampu merah”

Suasana semarang yang panah dan padat menjadi sebuah persembahan selamat datang bagi laki-laki muda ini un tuk mulai melawan sumpek dan kerasnya kehidupan kota.

“maaf pak boleh tanya alamat ini”

Arif menyodorkan selembar kertas bertuliskan

JALAN RONGGO WARSITO 2, SEMARANG

Kini aku telah berada di rumah laki-laki yang kutanyai alamt di jalan tadi. Rumah yang begitu megah, lengkap dengan perlengkapan rumah bak rumah2 yang di gunakan pesinetron yang sering ku tonton saat masih di kampung dulu.

“ duduklah nak muda”

“o,,iya pak”

Laki-laki itu mnyodorkan segelas jus dingin.

Tak lama langsung saja ku minum segelas jus yang ada di depan mata.

Sedetik kemudian laki-laki tadi membawaku ke lantai dua, dipersilahkannya aku beristirahat pada sebuah kamar mewah.

Ya benar-benar mewah, tak ada kamar bahkan rumah semewah ini di kampung. Ini benar-benar kota bisikku…

###

Hujan yang begitu besar memaksa jendela kamar , mencabik-cabik kain yang melekat di atasnya. Dengan terpaksa kuterbangun padahal jam masih menunjukkan angka 12 malam. Benar-benar tengah malam. Suasana makin menakutkan, petir menyambar pohon di pekarangan. Kulihat dari lantai 2, pak bon berlarian mengambil beberapa barang di taman yang kiranya bisa di masukkan kedalam rumah.

Aku merasa beru terbangun dari mimpi burukku. Dan ternyata di alam nyatapun alam sedang tak bersahabat. Kiranya badai besar tengah melanda perumahan di sekitar tempat tinggalku.

Tok tok tok.

“ den, ayo keluar. Semua sudah menunggu di bawah den” Mbok yem mengetuk keras

Kupaksa membuka pintu kamarku,

Jeglek2….kenapa tak seperti biasa

Kulihat kunci tak tertempel disana, pintu benar2 tak terkunci…tapi kenapa sulit terbuka?

Kutarik keras2 dan klek…gagang pintu putus.

Brugh….kepalaku membentur reruntuhan tembok….

Suasana di depanku tak seperti tadi, tak berbentuk sudah.

Mana kamar ku yang paling kucintai, mana HP mahalku, laptop kesayanganku…ah…bahkan baju yang paling mahalpun tak kupakai lagi, sobek dibeberapa tempat dan berlumuran darah yang menetes dari dahiku.

“pa…ma…mbok yem….” aku berteriak semampuku. Melengking, menarik pita suara.

Semua sepi dan gelap….tak kulihat  siapapun.

Yang ada hanya sorotan cahaya putih yang makin lama makin mendekat.

Kulihat sosok wanita yang telah lama tak ku lihat “ nang,,,jangan lupa sholat, kembalilah kapanpun kau mau”

Dan laki2 yang tlah lama tak mau menyapaku kala itu “ pulanglah nak gantikan ayahmu nyangkul di sawah”

Oh…mereka orang2 yang kukasihi dan tlah lama kulupakan hanya karena kemewahan sementara yang mampir kepadaku.

Dan sekilas kulihat seorang gadis muda yang mengusap tangisannya di tepian sungai, wajah gadis yang telah lalu. Maafkan aku…

Na’imah Awan di Kota Atlas, 19 April 2012

menghibur diri saat puyeng Skripsi…..

(copas dari tabungan karyaku)